Dibalik Mewahnya Kehidupan Anggota
Dewan.
”Makanlah dari buahnya (yang
bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik
hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang
yang berlebih-lebihan.”
[Al An’aam:141].
Surah diatas menekankan betapa Allah tidak menyukai orang
yang berlebih-lebihan. Namun,bertolak dari itu saat ini
yang terjadi adalah Perilaku anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan
perilaku gaya hidup mewah yang dipertontonkannya kian marak. Timbullah
pertanyaan apakah perilaku mewah anggota dewan tersebut dapat tergolong
berlebih-lebihan?. Sepertinya apa yang dilakukan anggota dewan dengan kemewahan
dan gaya hedonis ini memang bisa di nilai berlebihan.
Bagaimana tidak,di balik kemewahan yang
dilakukan oleh anggota dewan terselip rintihan dari rakyat,ketika para anggota
dewan berlomba-lomba dengan kemewahannya,rakyat harus meronta dengan
kekurangan. Mudahnya uang yang dikeluarkan untuk berlomba membeli mobil dan
barang-barang mewah tersebut sangat bertolak jauh dari kehidupan rakyat dalam
merasakan susahnya mencari uang. Jangankan untuk membeli mobil mewah,untuk
makanpun susah payah rakyat berusaha. Apa yang dipertontonkan anggota dewan ini
menunjukkan betapa rendahnya moralitas para anggota dewan saat ini,mereka yang
seharusnya menjadi panutan dan mengayomi rakyat seolah tak sedikitpun bergeming
dengan apa yang di rasakan rakyatnya.
Surat dibawah ini menjelaskan betapapun
banyak harta yang disombongkan itu tidak akan bermanfaat baginya:
”Dan orang-orang yang di atas A’raaf
memanggil beberapa orang (pemuka-pemuka orang kafir) yang mereka mengenalnya
dengan tanda-tandanya dengan mengatakan: “Harta
yang kamu kumpulkan dan apa yang selalu kamu sombongkan itu, tidaklah memberi
manfaat kepadamu.” [Al A’raaf:48]
Miris melihat kenyataan
reaksi para anggota dewan menanggapi kritik rakyat hanya dengan memberi jawaban
mereka: selagi
harta untuk melakukan kemewahan itu didapat secara halal, tentu tidak masalah.
Memang hidup mewah dari hasil
keringat sendiri, bukan hasil korupsi, adalah halal menurut pandangan fiqh
(hukum Islam) dan sah secara yuridis formal. Akan tetapi dalam realitas
kehidupan keseharian, hidup berdasarkan koridor hukum—hukum positif atau hukum
Islam– saja tidak cukup. Ada rambu-rambu etika yang harus dipatuhi untuk
menjamin kehidupan yang harmonis antarsesama.
Sudah seharusnya jika para anggota dewan saat ini bisa menunjukkan
sikap yang lebih memahami rakyat,dengan begitu kehidupan akan tercipta selaras
dan harmonis. Sehingga tidak akan munculnya ketidak setaraan antara rakyat dan
para anggota dewan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar