Minggu, 23 Desember 2012

Pandangan Moralitas Islam Terhadap Kehidupan Mewah DPR



Dibalik Mewahnya Kehidupan Anggota Dewan.


”Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”
[Al An’aam:141].


Surah diatas menekankan betapa Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. Namun,bertolak dari itu saat ini yang terjadi adalah Perilaku anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan perilaku gaya hidup mewah yang dipertontonkannya kian marak. Timbullah pertanyaan apakah perilaku mewah anggota dewan tersebut dapat tergolong berlebih-lebihan?. Sepertinya apa yang dilakukan anggota dewan dengan kemewahan dan gaya hedonis ini memang bisa di nilai berlebihan. 
Bagaimana tidak,di balik kemewahan yang dilakukan oleh anggota dewan terselip rintihan dari rakyat,ketika para anggota dewan berlomba-lomba dengan kemewahannya,rakyat harus meronta dengan kekurangan. Mudahnya uang yang dikeluarkan untuk berlomba membeli mobil dan barang-barang mewah tersebut sangat bertolak jauh dari kehidupan rakyat dalam merasakan susahnya mencari uang. Jangankan untuk membeli mobil mewah,untuk makanpun susah payah rakyat berusaha. Apa yang dipertontonkan anggota dewan ini menunjukkan betapa rendahnya moralitas para anggota dewan saat ini,mereka yang seharusnya menjadi panutan dan mengayomi rakyat seolah tak sedikitpun bergeming dengan apa yang di rasakan rakyatnya.



Surat dibawah ini menjelaskan betapapun banyak harta yang disombongkan itu tidak akan bermanfaat baginya:

”Dan orang-orang yang di atas A’raaf memanggil beberapa orang (pemuka-pemuka orang kafir) yang mereka mengenalnya dengan tanda-tandanya dengan mengatakan: “Harta yang kamu kumpulkan dan apa yang selalu kamu sombongkan itu, tidaklah memberi manfaat kepadamu.” [Al A’raaf:48]


Miris melihat kenyataan reaksi para anggota dewan menanggapi kritik rakyat hanya dengan memberi jawaban mereka: selagi harta untuk melakukan kemewahan itu didapat secara halal, tentu tidak masalah.  Memang  hidup mewah dari hasil keringat sendiri, bukan hasil korupsi, adalah halal menurut pandangan fiqh (hukum Islam) dan sah secara yuridis formal. Akan tetapi dalam realitas kehidupan keseharian, hidup berdasarkan koridor hukum—hukum positif atau hukum Islam– saja tidak cukup. Ada rambu-rambu etika yang harus dipatuhi untuk menjamin kehidupan yang harmonis antarsesama.
            Sudah seharusnya jika para anggota dewan saat ini bisa menunjukkan sikap yang lebih memahami rakyat,dengan begitu kehidupan akan tercipta selaras dan harmonis. Sehingga tidak akan munculnya ketidak setaraan antara rakyat dan para anggota dewan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar